Banyak negara paska perang dunia ke-II gemuruh mengadaptasikan demokrasi sebagai sistem sosial kenegaraan. Namun begitu, tidak dengan negara-negara Islam, atau negara-negara yang mayoritas dihuni umat Islam. Berpijak pada index Freedom House kebebasan sipil dan hak-hak dan politik pada tiga dekade terakhir ini negara-negara tersebut gagal dalam menerapkan demokrasi. Dua belas negara Islam dikategorikan “semi-demokratis” (partly-free), sementara tiga puluh lima negara Islam adalah otoritarian (fully not free). Lebih jelasnya, delapan dari lima belas negara yang represif, merupakan negara-negara Islam (Munjani, 2003: 17).
Salah satu hal penting dalam agenda tersebut adalah demokrasi penciptaan ruang yang dapat dinikmati oleh semua masyarakat yang paling minor sekalipun. Bahkan, ruang tersebut juga memberikan tindakan affirmatif (affirmative action) bagi mereka yang selama ini termarjinalkan. Entah dalam ekpresi kebudayaan, pilihan kepercayaan, pendidikan, dan seterusnya. Ini menjadi amat penting karena kerapkali budaya dominan menguasai berbagai ruang dalam masyarakat. Walhasil, budaya dominan tersebut menutup entitas minoritas dengan cara yang subtil atau terselubung dalam kebenaran semu yang dewasa ini banyak diformalkan dalam bentuk institusi pemerintahan.
Modal Budaya
Puasa sebagaimana banyak diungkap oleh banyak para pengkaji Islam merupakan proses “penggodokan diri”. Secara praktik diwujdukan dalam tindakan menahan lapar, dahaga, dan seks di siang hari. Secara substansif adalah mengendalikan hawa nafsu untuk menghindari tindakan-tindakan prilaku yang mengotori hati manusia. Tindak menggunjing, membantu orang lain, sabar, toleran dan seterusnya, merupakan deretan tindakan moralis yang diserukan saat puasa.
Dalam masyarakat Indonesia, puasa kemudian menjadi ritme kebudayaan yang khas. Berbagai kebudayaan muncul sebagai ekspresi perayaan puasa itu sendiri. Ritual kebudayaan seperti nyadran (pergu ke makam leluhur), di pesisir utara Jawa kita temukan dandangan, di Semarang ada dugderan, dan seterusnya. Pesta rakyat yang mensimbolkan proses penyucian hadir di berbagai daerah, dalam berbagai bentuk, ragam dan vareasi.
Pada momen menjelang puasa dan bulan puasa, seringkali oranamen-ornamen kebudayaan yang kerap terlupakan dan hilang muncul kembali ke publik. Berbagai art performance kebudayaan yang berbau agama lokal hadir kembali di tengah-tengah masyarakat yang tengah mengalir deras menuju perubahan: Rebana, Samproh, Hadroh, rodatan, serakalan dll, di kampung-kampung bersuara kembali, setelah sekian lama temaram kalah bersaing dengan tayangan televisi
Di bulan ramadhan pula domestifikasi perempuan yang telah mengakar dalam masyarakat Indonesia dienterupsi. Perempuan-perempuan berduyun-duyun ke masjid, bahkan hampir dipastikan lebih banyak perempuan daripada lelaki. Masjid yang oleh kelompok Islam tertentu menjadi sangat sakral, oleh tradisi Islam lokal tidak demikian. Tak jarang, mereka datang hanya emper masjid untuk ngobrol, menyapa teman-teman, berbagi rokok atau cerita, setelah itu pergi tanpa atau dengan shalat. Anak-anak kecil bermain-main, berkejar-kejaran , hingga tempat suci itu tak ubahnya playgroups.
Di bulan puasa inilah masjid menjadi tempat bersama-sama (public sphere) untuk saling menukar apa saja: cerita, kenalan, rokok hingga sandal. Masjid mejadi ruang publik dimana masyarakat saling berbagi yang merupakan unsur penting dari demokrasi.
Setidaknya dalam puasa terdapat unsur-unsur transsendental maupun kultural yang itu dapat diapresiasi sebagai modal untuk berdemokrasi. Pada wilayah keperibadian manusia, perinsip-perinsip: mengendalikan diri, menghargai, dan toleransi bila benar-benar terimplementasi dalam tindakan keseharian merupakan modal besar untuk proses demokrasi.
Dalam konteks sosial, puasa memliki dorongan transformatif yang terwujud dalam tindakan badaniah lapar. Sehingga, agama bukan lagi medan eskapis atau grundelan esoteris, namun mempunyai kualitas yang mampu mendorong terjadinya perubahan dalam masyarakat.
Selanjutnya dalam konteks kebudayaan, bulan puasa juga merupakan momen kebudayaan-kebudayaan Islam lokal hadir sejenak mengingatkan kita. Bahwa Hadrah, Rodatan, dan Serakalan dll merupakan unsur kesenian dekat dan berangkat pada tradisi Indonesia, daripada nasyid yang tidak membolehkan denting alat musik yang belakangan populer. Dus, bulan puasa juga merupakan momen budaya yang tepat untuk mengapresiasi kebudayaan-kebudayaan minoritas yang selama ini tenggelam tertempa budaya modern.
Demokrasi
Perjalanan panjang Indonesia dalam menuju masyarakat yang demokratis, dalam pengertian persekutuan dimana berbagai ruang, wilayah, akses, ekspresi terbagi secara merata di antara berbagai individu maupun kelompok sosial kultur, politik dan ekonomi bukanlah sebuah cita-cita yang mudah. Pesan dan tradisi puasa yang sarat dengan unsur-unsur kebudayaan pendukung demokrasi (civic virtue) semestinya musti diapresiasi lebih jauh. Sebagai bahan refleksi untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis di Indonesia yang telah berada dalam himpitan globalisasi.
Sebuah kondisi, sebagian orang akan mudah menyesuaikan dengan perbagai perubahan, di lain pihak, banyak pula yang gagab karena hal yang baru karena jauh dari semangat zaman. Untuk itu, kepastian akan setrategi kebudayaan yang tepat bagi Indonesia sangat dibutuhkan. Sebuah kepastian yang mampu meyakinkan berbagai orang untuk tetap menerima perubahan, namun tidak pula “menggodam” tradisi yang telah ada sebelumnya. Perihal ini, filsuf Jerman Hans George Gaddamer pernah mengingatkan dunia dengan sebuah postulat: to stand within tradition is not limit of knowledge but makes it possible!
Penulis adalah Peneliti Yayasan Umar Kayam (YUK) Yogyakarta
Sumber:
0 comments: