Senjata biologi (Biological weapons) menjadi sesuatu yang sangat menarik, karena sifat mik-roba yang mempunyai fungsi gan-da, yaitu (1) dapat digunakan un-tuk tujuan damai, meningkatkan kesejahteraan manusia pengobat-an, fermentasi, penghasil toksin, penghasil zat warna dan sebagai-nya, dan (2) digunakan sebagai senjata pemusnah masal. Sisi yang terakhir menjadi perhatian yang serius saat ini, khususnya sejak terjadinya serangan anthrax di Amerika tahun 2001.
Konvensi mengenai senjata biologi sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1972 dan berlaku 1975 yang pada intinya merupa-kan perjanjian internasional yang melarang pengembangan, produk-si, penggunaan maupun transfer bahan-bahan biologi beracun un-tuk tujuan bukan damai. Perseri-katan Bangsa-Bangsa (PBB) men-difinisikan senjata biologi sebagai “living organisms, whatever their nature, or infective material deri-ved from them, which are intended to cause disease or death in man, animals or plants, and which depend for their effects on their ability to multiply in the person, animal or plant attacked”. Begitu pentingnya senjata biologi, menye-babkan peninjauan mengenai kon-vensi senjata biologi diadakan se-tiap 5 tahun, tetapi sampai seka-rang konvensi tersebut belum ber-laku secara efektif, karena belum dicapai kata sepakat pada sistim verifikasinya, meskipun telah di-tanda tangani oleh 140 negara di dunia. Indonesia yang telah menan-datangani konvensi, memperoleh manfaat berupa kerjasama, tukar menukar informasi iptek berkaitan dengan bahan-bahan biologi dan toksin, serta bantuan material dan peralatan. Sampai saat ini, peme-rintah telah membentuk Kelom-pok Kerja Konvensi Senjata Bio-logi, yang anggotanya berbagai instansi terkait, menyiapkan pa-yung hukum berkaitan dengan pengawasan dan penggunaan bahan biologi berbahaya.
Dibanding dengan senjata pemusnah masal lainnya, penga-ruh senjata biologi terhadap ma-nusia tidak seburuk dan secepat senjata nuklir maupun kimia, teta-pi kelebihan dari senjata biologi membuat perhatian terhadap peng-gunaan mikroba yang memba-hayakan kehidupan manusia men-dapat perhatian lebih untuk saat ini. Kelebihan tersebut antara lain, senjata biologi (1) mudah untuk dikembangkan bahkan dapat dila-kukan pada laboratorium mikro-biologi berstandar minimal, (2) memerlukan biaya yang relatif murah, dibandingkan dengan nuk-lir dan kimia (petro kimia), (3) bisa dikerjakan oleh individu, ti-dak harus negara atau perusahaan yang besar (seperti senjata nuklir dan kimia), (4) materialnya bisa diambil langsung dari lapang, mi-sal dari ternak yang sakit, (5) ke-beradaannya di dalam suatu mate-rial sulit dideteksi, dan (6) serangannya relatif tidak nampak serta pengaruhnya terhadap target sasar-an tidak langsung terlihat (ada masa inkubasi), akibatnya pem-berian perlindungan lebih dini, menjadi tidak sempat dilakukan atau mungkin juga orang yang terkena serangan telah pergi dan menjadi sumber inokulum dimana-mana.
Suatu mikroba yang berbahaya dapat menjadi senjata biologi, karena memang sengaja diperba-nyak, direkayasa, atau dikemas se-bagai senjata. Meskipun tidak dirancang sebagai senjata, ia juga dapat membahayakan manusia, misalnya karena penanganan di laboratorium yang tidak sesuai dengan prosedur/careless atau laboratorium yang digunakannya tidak memenuhi kualifakasi ke-amanan minimal yang diperlukan untuk bekerja dengan mikroba tersebut. Untuk menghindari hal tersebut di atas, Reynolds M. Salerno, PhD dari Chemical and Biological Weapons Nonprolifera-tion, International Security Center, Sandia National Laboratories, Al-buquerque, NM, USA menekan-kan pada prinsip Memperkuat Pengelolaan Bahaya Biologi (Strengthening Biological Risk Management), yang terdiri dari dua komponen, yaitu (1) Bio-safety, dan (2) Bio-security, pada laboratorium atau institusi yang banyak berhubungan dengan mik-roba. Kedua komponen ini biasa-nya dikenal sebagai “Integrated Biorisk Management”, yang meliputi (a) peningkatan ”aware-ness” terhadap perubahan budaya saat ini, (b) memiliki terminologi yang jelas, (c) pengembangan strategi pelatihan, memastikan komitmen nyata para stakehol-ders, (d) termasuk pemerintah, (e) terus meningkatkan kapasitas yang berdasarkan kebutuhan kawasan/teritorial dan (f) mem-bentuk akuntabilitas melalui pengembangan “report cards” Negara.
Bio-safety
Bio-safety diartikan sebagai bekerja dengan aman, yaitu usaha mengurangi atau menghindari peluang terinfeksinya pekerja atau terlepasnya suatu mikroorganisme yang berpotensi menimbulkan ba-haya ke lingkungan. Di tahap ini, yang perlu dilakukan adalah mere-view terhadap bahan biologi yang sedang dikerjakan/dikoleksi, me-ngenali karakteristik biologinya dan apakah material tersebut mempunyai potensi menimbulkan penyakit, racun atau alergi yang berbahaya pada manusia. Setelah itu, mengevaluasi apakah pena-nganan yang diberikan telah benar dan memadai untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya akibat negatif dari material tersebut.
Laboratoriumnya biasanya dikel-ompokkan menjadi empat kategori, yaitu Bio-safetytingkat 1, untuk menangani materi yang tidak mem-bahayakan orang dewasa atau mempunyai bahaya minimal ter-hadap pekerja di laboratorium dan lingkungan. Bio-safetytingkat 2, untuk materi yang mempunyai po-tensi menengah dalam memba-hayakan manusia dan lingkungan. Bio-safety tingkat 3, untuk materi berpotensi membahayakan hingga mematikan, apabila terhisap ke dalam saluran pernafasan, dan Bio-safety 4, untuk materi yang sangat berbahaya dan berasal dari luar (exotic agents) yang resikonya sangat besar, mudah tersebar melalui aliran udara di laborato-rium dan penyakit yang memba-hayakan kehidupan, misalnya Ebola Zaire virus. Menurut, Mr. Saleno, orang yang bekerja di laboratorium Bio-safety tingkat 3, hanya orang-orang yang telah ter-latih dan terbukti bekerja dengan baik di laboratorium-laboratorium yang tingkatannya lebih rendah (Bio-safety 1 dan 2), demikian juga yang berlaku untuk laborato-rium dengan kualifikasi Bio-safety tingkat 4. Untuk masing-masing kategori, secara fisik ada standar minimal yang harus dipenuhi oleh masing-masing kelompok labora-torium, yang selengkapnya dapat dibaca di WHO Laboratory Biosa-fety Manual (LBM)3rd edition.
Bio-security
Bio-security adalah usaha melindungi bahan-bahan biologi dari pencurian atau sabotase oleh siapapun yang bermaksud me-ngembangkan atau memperbanyak senjata biologi.Bio-security sebe-narnya mendukung agenda Bio-safety untuk mencegah tertularnya orang, binatang atau tanaman oleh mikroba yang sedang dalam pena-nganan, dan meminimalkan resiko pekerja untuk terkontaminasi/ tertular. Yang perlu diperhatikan saat bekerja adalah, apakah suatu materi biologi mempunyai potensi digunakan untuk tujuan kejahatan, dan konsekuensi apa yang timbul apabila digunakan untuk kejahat-an. Apabila potensinya cukup be-sar, maka perlu dievaluasi tin-dakan-tindakan yang telah, akan dan harus dikerjakan untuk meng-amankan material tersebut.
Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang ada, komponen keamanan yang perlu dikembang-kan pada Bio-security adalah (a) personal security, dapat berupa visitor control,personal screening dan seragam kerja tertentu; (b) material control and accountabi-lity, berupa accountable individual, documentation and control; (c) transport security, berupa cara membawa, jenis sarana yang di-gunakan, pemantauan barang saat dalam perjalan, dan konfirmasi apabila telah sampai di tujuan; (d) information security, berupa pem-batasan informasi yang sensitif, akses, kewenangan pada orang tertentu saja, dan (e)physical security, berupa ruang-ruang yang berlapis, area eksklusif dengan akses yang terbatas.
Bio-safety dan Bio-security merupakan komponen yang tidak terpisah, dalam menjaga keaman-an material biologi yang berba-haya, sehingga perlu dikembang-kan suatu system yang mendu-kung agar kedua komponen tersebut dapat berfungsi secara maksimal. Walaupun mungkin bentuk kerjanya tidak akan sama di setiap laboratorium, tergantung pada jenis tingkat laboratorium yang dimiliki dan tupoksi dari masing-masing laboratorium.
Mengingat keselamatan dan keamanan kerja biasanya tidak selalu sempurna, banyak materi atau pekerja yang sehat sebe-narnya juga telah mengidap suatu penyakit (latent infection) dan banyaknya bahan biologi yang berbahaya terdapat secara alami di lapang. Maka pengelola labora-torium khususnya, harus mema-hami resiko-resiko yang mungkin terjadi yang masih dapat dan yang tidak dapat ditolerir, serta selalu kritis dalam menangani suatu material/sampel yang berbahaya baik mengenai prosedur penge-lolaan maupun penyimpanannya. Kalau melihat standar fisik mini-mal yang diperlukan, mungkin secara umum laboratorium di Balittro tergolong dalam Bio-safety tingkat 1 karena kita tidak bekerja dengan anthrax, Avian In-fluenza, Nipah virus dan sebagainya, tetapi adakalanya kita menerima sampel tanah atau yang lainnya dari luar yang tidak kita ketahui kondisinya, karena minimnya informasi dari pengirim sampel.
Beberapa kelompok spesies cendawan misalnya kelompok Aspergilus dan Paecilo-myces (beberapa spesies diantara-nya diketahui memparasit nema-tode dan serangga) juga diketahui dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Spora bakteri anthrax yang mampu bertahan dalam tanah untuk waktu puluhan tahun, merupakan satu kelompok dalam grupBacillus, yaitu B. anthracis yang jenis lainnya juga banyak dimanfaatkan bagi kepentingan di bidang pertanian. Oleh karena itu, kehatihatian harus tetap menjadi prioritas di dalam penelitian, menerima sampel dan penanganan selanjutnya di laboratorium, tanpa menghalangi berkembangnya kre-asi penelitian. Untuk itu, salah satu cara untuk meminimalkan resiko yang mungkin terjadi, perlu di-susun guidelines, prosedur standar pengelolaan sample/bahan-bahan penelitian, pelaksanaan di labora-torium dan membentuk system informasi dengan instansi yang telah ber-pengalaman menangani mikroba berbahaya (Balitvet atau Litbang Depkes). Berdasarkan pada beberapa kasus sebelumnya, misal cacar air di Inggris (1973 dan 1978), pulmonary anthrax, di Sverdlovsk, Uni Soviet (1992) dan SARS, beberapa masalah yang banyak ditemukan di labora-torium adalah : (a) pengelolaan dan keterampilan yang kurang, (b) kurangnya pengalaman dan tenaga professional, (c) kurangnya pema-haman mengenai kesehatan dan keselamatan, (d) minimnya kebijakan yang berkaitan dengan keselamatan, dan (e) kurangnya pengetahuan mengenai prosedur dan pelatihan mengenai kesela-matan. Demikian semoga bermanfaat (Dr. Dono Wahyuno, Koordinator Laboratorium Penyakit Tanaman, Balittro).
Sumber:
0 comments: